Tahun
ajaran baru, selalu menjadi tahun yang paling menyibukkan dan memusingkan bagi
para calon mahasiswa. Pilih jurusan ini, universitas itu, kota yang jauh, dan
berbagai pertimbangan lain. Bagi yang sudah mendapat restu dari orang tua pasti
akan lebih mudah melangkah kemana akan meniti masa depannya. Kita pasti ingin
mendapatkan pendidikan di universitas terbaik dengan tenaga pengajar yang
terbaik pula.
Beginilah
yang dirasakan oleh sahabatku asal Jogja, Fikri. Dia adalah seorang deaf yang memiliki semangat tinggi untuk
kuliah, terutama bidang seni rupa dan desain. Fikri tidak berbeda dengan calon
mahasiswa lainnya, ingin mendapatkan pendidikan yang terbaik. Namun “terbaik”
bagi Fikri dan bagi kita mungkin tidak sama. Fikri bisa saja berkuliah di
universitas terbaik di negeri ini dan mengambil jurusan populer, tapi itu bukan
yang “terbaik” dari sisinya.
Beberapa
bulan sebelum pembukaan pendaftaran tes masuk perguruan tinggi negeri, Fikri
memberitahuku bahwa ada beasiswa khusus difabel dari Universitas Brawijaya (UB)
Malang. Peluang yang sangat bagus, pikirku. Sebelum ini, dia sudah bertemu
dengan dosen salah satu perguruan tinggi negeri di Jogja untuk berkonsultasi
mengenai sistem perkuliahan dan proses pembelajarannya saat di kelas. Ternyata di
universitas tersebut belum ada penerjemah bahasa isyarat untuk mendampingi
Fikri di kelas. Pasti dia akan kesulitan dalam mengikuti perkuliahan manakala
harus membaca gerak bibir dosen sepanjang perkuliahan. Inilah yang dinamakan bukan
yang “terbaik” bagi seorang Fikri, biarpun universitas negeri dan fasilitas
memadai.
Baiklah,
mungkin univeritas negeri Jogja tersebut menjadi pilihan terakhir jika di UB
tidak lolos. Dua minggu menjelang keberangkatan aku mengunjungi rumahnya di Jogja,
untuk tanya persiapan dan berbincang dengan orang tuanya. Karena Fikri minta
aku yang menemaninya ke Malang, jadi aku meyakinkan ke orang tuanya bahwa Fikri
akan baik-baik saja selama di sana. Orang tua Fikri sangat baik dan memberi
kebebasan Fikri untuk mengikuti kegiatan di luar rumah. Hal inilah yang membuat
Fikri memiliki rasa percaya diri lebih besar dibanding teman-teman deaf yang lainnya.
Menyusun rencana keberangkatan dan kepulangan
sudah selesai diperhitungkan. Hari Sabtu jam 09.00 adalah interview jurusan yang akan diambil di UB. Maka Fikri datang ke
Solo pada hari Jumat sore untuk istirahat sejenak dan malam harinya kami
berangkat. Kami sudah memesan tiket travel untuk memudahkan perjalanan karena
kami belum pernah mengunjungi Kota Apel itu. Dan agen travel menjanjikan pukul
21.00 sampai di kosku untuk menjemput kami. Jam sudah menunjukkan pukul 21.45, belum
ada tanda-tanda travel datang dan aku menelpon agen travelnya berkali-kali tapi
nomer tidak aktif. Panik! Emosi!
“Kita
naik motor aja”, kata Fikri dengan menggunakan bahasa isyarat.
Melewati
hutan Ngawi dengan jalan berliku tanpa lampu penerangan serta ketakutanku lebih
kepada bis Sumber Kencono yang mungkin saja sopirnya nyetir sambil tidur. “Tidak! Bahaya! Kita tunggu 5 menit lagi aja,
pasti travel datang,” jawabku memakai bahasa isyarat.
Baiklah,
lima menit sudah berlalu. Fikri semakin bingung dan wajahnya terlihat seperti
ingin gantung diri. “Ayo naik motor aja!” ajakku. “Oke kita berangkat ke Malang
naik motor, tadi bilang gak mau naik
motor. Woooo,” Fikri berkata dalam bahasa isyarat dengan bersemangat.
“Kita
naik motor, tapi ke terminal” aku berlalu sambil ambil motor. “Kalau besok kita
terlambat piye?” Fikri masih
khawatir.
“Diam
dan cepat naik!”, kataku dan langsung menuju terminal Tirtonadi (terminal di
Solo).
Sampai
di Terminal Tirtonadi dalam 15 menit. Bingung! Bis tujuan Malang sudah tak ada!
Tuhan…beri kami jalan. Seperti biasa, kalau di terminal aku merasa bak seorang
artis kampung papan atas, banyak yang kepo
menanyakan aku akan pergi kemana. Aduhai
beginilah rasanya jadi artis, mau pergi saja banyak yang ingin tahu.
Ada
bis berwarna biru tujuan Surabaya, mungkin ini pilihan terakhir kami untuk
menuju Malang. Waktu masih terus mengejar.
“Pak,
masih ada yang kosong gak?” tanyaku.
“Penuh
mas. Tapi kalau mau ada kursi cadangan untuk dua orang,” jawab sopir. Tak ada
bayangan apapun apa yang dimaksud si sopir tentang “kursi cadangan”.
“Kita
bisa berangkat, tapi cuma ada kursi cadangan, gimana?” tanyaku pada Fikri. “Kursi cadangan? Apa itu?” tanyanya
bingung.
“Hmm
mungkin kita nanti di Malang akan bermain sepak bola sebagai pemain cadangan,”
jawabku.
“Haha..
Bodoh,” kepalan tangan Fikri mendarat mulus di kepalaku.
Kita
masuk bis tujuan Surabaya itu, dan akhirnya kami mengetahui apa yang dimaksud
dengan “kursi cadangan”. Semacam menikmati hidangan bakso di emperan jalan dan
kita duduk di warung itu. KURSI PLASTIK!! Duduk di pojok paling belakang tepat
di samping toilet, kaki menahan getaran bis supaya tak jatuh dari singgasana kehormatan
“kursi cadangan” ini, sangat nikmat!
Selama
enam jam perjalanan menuju Kota Pahlawan diiringi oleh kelelahan dan segala
kata-kata “sanjungan” manis untuk sang travel abal-abal. Tepat pukul 5.30
sampailah di Surabaya. Cukup singkat menginjakkan kaki di kota ini karena harus
segera menuju Malang. Jam 06.00 bis menuju Malang berangkat.
Pukul
08.00 kami tiba di Terminal Arjosari Malang. Sudah dekat dengan kampus UB.
Segera bertanya orang kemana arah UB dan naik apa. For your information, di Malang sangat banyak angkot. Di dalam kota
semua transportasi umumnya adalah angkot.
Universitas Brawijaya (UB) Malang
Akhirnya
kami tiba di tujuan, di tempat impian Fikri. Tepat pukul 8.00 dan kami harus
mencari tempat membersihkan diri. Masjid, satu-satunya pilihan bagi kami.
Dengan memasang muka keren, tepis rasa malu, dan aku izin ke penjaga masjidnya.
Cuek saja ada mahasiswa lalu lalang
melihat kami yang menenteng handuk di
area kampus. Oh Tuhan, airnya sangat dingin. Mungkin mandi pagi cukup, gak mandi lagi!
Persiapan
selesai dan kami berjalan menuju Rektorat, yang merupakan tempat diadakannya
wawancara untuk menjaring calon mahasiswa disabilitas. Kampus UB rindang,
trotoar lebar dan nyaman, sehingga banyak mahasiswa yang berjalan kaki di sini.
Selain itu trotoar ini menjadi aksessibel bagi yang memiliki keterbatasan fisik
jika menggunakan kursi roda. Cuaca Malang yang cukup dingin tak membuat kami
berkeringat berjalan menuju Rektorat yang jaraknya cukup jauh.
Masuk
ke dalam salah satu ruang di Rektorat yang ternyata sudah banyak yang datang
dan melakukan interview. Banyak orang
tua yang mengantarkan anaknya, ada juga yang diantar oleh teman atau
saudaranya. Sepanjang perjalanan dan sampai di ruang ini aku dan Fikri memang ngobrol pakai bahasa isyarat, banyak
yang mengira aku tuli. Jadi lucu melihat ekspresi orang yang kebingungan berbicara
denganku karena kesulitan mencari-cari formasi tangan hehe.
Ruangan
dipenuhi oleh calon mahasiswa disabilitas yang sedang diwawancarai mengenai
jurusan apa yang diinginkannya. Aku melihat percakapan antara calon mahasiswa
tuli dengan dosen yang dibantu oleh penerjemah bahasa isyarat, si calon
mahasiswa itu ingin masuk jurusan Kedokteran. Berkali-kali dosen itu bilang
bahwa untuk kuliah di jurusan Kedokteran tidak boleh mengalami gangguan
pendengaran. Aku salut dengan kegigihan sang calon mahasiswa itu yang tetap
bersiteguh ingin masuk Kedokteran.
“Misal
kamu tidak masuk di jurusan Kedokteran, kamu pilih jurusan apa?” tanya dosen. “Aku
tidak mau jurusan lain!” jawabnya mantap. Semangatnya sangat tinggi untuk masuk
jurusan ini. “Kenapa kamu ingin sekali masuk jurusan Kedokteran?”, dosen
bertanya lagi. “Karena aku ingin menyembuhkan orang yang sakit,” kata si calon
mahasiswa dengan menggunakan bahasa isyarat. Aku melihat wawancara itu dari
kejauhan sungguh tercegang dengan motivasinya.
Kembali
melihat Fikri yang sedang wawancara. Seperti dugaanku sebelumnya tak ada yang
perlu dikhawatirkan dengan dia. Fikri sejak awal memang menginginkan masuk
jurusan Seni Rupa. Dengan kemampuannya selama di SMK Seni Rupa Jogja, tidaklah
sulit jika sewaktu-waktu panitia ingin melihat kemampuan Fikri. Berbagai
pertanyaan lancar dijawab Fikri, seperti seni rupa menurutmu apa, sebutkan
contoh-contoh karya yang termasuk seni rupa, dan berbagai macam tentang seni
rupa. Dia menjawab dengan tepat, karena sebelumnya dia sudah membaca mengenai
seni rupa.
Fikri
bilang sedikit kesulitan dalam menjelaskan ke dosen, karena penerjemahnya baru
belajar bahasa isyarat dua bulan. Fikri sempat sedikit marah karena
mengulang-ulang mengeja kata “d-i-s-k-r-i-m-i-n-a-s-i” saat dia menjelaskan
mengenai keadaan para disabilitas. “Sudah jangan marah, besok kalau kamu
diterima di sini kamu ajari volunteer UB bahasa isyarat supaya mereka lancar
bahasa isyarat,” hiburku.
Kelalahan
perjalanan semalam mulai melanda kami. Tenaga dan mata sudah tak kuat menahan
kantuk. Kami mencari masjid di luar UB untuk shalat Dzuhur dan beristirahat
sejenak sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Solo. Lantai dingin masjid berhasil
membawa kami ke alam mimpi dengan cepat.
Dalam
menggapai mimpi tak semudah menidurkan kepala di bantal, banyak tantangan dalam
perjalanan meraih mimpi itu. Menggapai pendidikan setinggi-tingginya tak hanya
milik orang “normal”, teman-teman tuli pun bisa meraihnya. Berani bermimpi dan
gapai mimpi itu!!