Tuesday, November 19, 2013

Perpisahan Sesaat

Setiap keputusan pasti ada risiko yang harus diambil. Pasti ada sisi positif dan negatifnya. Keputusan adalah pilihan. Pilihan itu yang harus aku pilih.

Setelah bekerja di sebuah SLB selama satu tahun lebih, banyak pengalaman yang aku dapatkan di sana. Sebagai fresh graduate tentunya yang dicari adalah pengalaman sebanyak-banyaknya. Di SLB mendapatkan banyak sekali pelajaran dalam hal pendidikan, kehidupan, relasi, dan sistem sekolah yang dulu tidak ada dalam mata kuliah.

Memang sedih berpisah dengan SLB dan murid-muridku di sana. Namun yang lebih sedih adalah berpisah dengan kawan-kawan di Gerkatin Solo dan Deaf Volunteering Organization (DVO). Mereka sudah menjadi keluargaku selama di Solo. Banyak hal yang aku dapatkan dari sana. Keluh, lelah, gesekan, begadang, senang, bangga, dan semua perasaan bahagia terkumpul menjadi satu di sana.

Ada pertemuan pasti ada perpisahan. Kalimat yang mudah diucapkan saat memberi semangat kepada kawan, tapi entah kenapa begitu sulit dijalani sendiri. Kalau ada pertemuan janganlah ada perpisahan, inginnya seperti itu. Egois sekali memang. Tapi sekali lagi, ini adalah pilihan. Dan setelah berpikir berbulan-bulan akhirnya kuputuskan untuk pindah dari Solo dan meninggalkan kawan-kawan di sini. Meninggalkan bukan dalam artian lepas dari mereka sepenuhnya. Hanya berpisah jarak, namun masih tetap berada dalam dunia tuli.

Ya itu kalimat penghiburku, “hanya berpisah jarak, tapi tetap dalam satu dunia, tuli.” Begitu berat meninggalkan mereka yang telah membentuk pemikiranku bahwa kita harus sadar di suatu kelompok besar, ada sebuah kelompok minoritas yang memiliki hak-hak yang setara dengan kelompok mayoritas.

Kepindahanku dari Solo adalah ke Bekasi. Membangun sebuah sekolah baru dengan kurikulum yang berbeda dengan di Indonesia. Melihat banyaknya tuli yang belum mengenal jati dirinya sebagai tuli, banyak yang belum sadar bahasa isyarat adalah hak mereka, dan banyak kemampuan membaca tuli dewasa yang sama dengan kemampuan membaca anak SD berpendengaran normal. Bertahun-tahun bersekolah kenapa kemampuan membaca dan menulis tuli masih rendah? Apa yang salah?

Di sekolah yang akan dibangun di Bekasi inilah yang membuat aku pindah dari Solo. Kota yang banyak memberikan kenangan dan pengalaman. Di sekolah Bekasi akan menggunakan kurikulum yang berbeda dengan kurikulum yang dipakai oleh SLB. Di sana menggunakan Metode Bilingual. Yaitu bahasa isyarat sebagai bahasa pengantar pertama dalam pembelajaran. Dan bahasa Indonesia adalah bahasa kedua.

Aku belum tahu akan seperti apa kehidupan di Bekasi. Yang di Solo kehidupan sudah tertata. Pagi hari mengajar di SLB, sore belajar, dan malamnya kegiatan bersama Gerkatin Solo dan DVO. Tiada hari tanpa bertemu mereka. Bahkan pada hari Minggu dari pagi sebelum ayam berkokok hingga berganti hari masih bersama kawan-kawan Gerkatin Solo dan DVO. Aktivitas yang melelahkan namun terasa begitu menyenangkan.

Solo begitu banyak kegiatan antara tuli dan volunteer, entah itu ada rapat rutin ataupun belajar Bahasa Indonesia ataupun belajar Bahasa Isyarat. Tiap hari ada aja kegiatan. Di Bekasi bagaimana budaya tuli di sana, aku belum punya gambaran. Bahkan aku tidak punya kenalan tuli asal Bekasi. Tapi biar bagaimanapun, ini masih dalam dunia tuli, dunia yang sangat luar biasa.

Telah banyak kegiatan yang aku lalui bersama Gerkatin Solo. Setiap dua minggu sekali kami membuka stand bahasa isyarat di Car Free Day (CFD). Belajar bahasa isyarat di CFD ini adalah yang pertama di Indonesia yang digelar secara rutin. Hal yang sangat membanggakan tentunya. Melihat teman-teman tuli yang konsisten membuka stand di CFD, serta melihat kompaknya kerja sama antara tuli dan volunteer. Aku awalnya tidak mengetahui seberapa besar dampak dari membuka stand di CFD ini, karena kami melakukannya dengan harapan masyarakat Solo sadar akan adanya tuli yang memakai komunikasi dengan bahasa isyarat dan mengedukasi masyarakat bahwa bahasa isyarat bukan “bahasa tarzan.”

Di benak teman-teman tuli dan volunteer tidak ada harapan yang tinggi dengan stand bahasa isyarat di CFD ini. Hanya sebatas masyarakat mau belajar bahasa isyarat dan mengerti setidaknya abjad bahasa isyarat. Namun, Tuhan memiliki rencana lain. Kami tidak menyangka bahwa kegiatan CFD yang selalu kami unggah di media sosial ternyata memiliki dampak yang sangat besar bagi tuli, bagi tuli di Indonesia. Wow apa ini terlalu berlebihan? Tuli di Indonesia memandang kegiatan kami sebagai kegiatan yang luar biasa, yang tak pernah dilakukan oleh komunitas tuli dimanapun. Secara diam-diam kegiatan kami di CFD menjadi inspirator bagi komunitas tuli daerah lain untuk melakukan hal yang sama.

Selain kegiatan di CFD, kami melakukan kegiatan dengan berbagai komunitas di Solo. Sekali lagi, harapan kami hanya bisa ikut berpartisipasi dalam kegiatan komunitas di Solo dan menjalin kerja sama dengan mereka. Tapi, itu tidak sesuai harapan kami karena kami bahkan dilibatkan lebih jauh lagi. Woow di luar prediksi kami semua. Setiap ada acara di Solo, Gerkatin Solo tidak pernah absen dari undangan, baik itu kegiatan pemerintah maupun kegiatan sosial dan komunitas.

Semakin berkembangnya Gerkatin Solo, kebutuhan akan tenaga yang support kegiatan juga semakin besar. Deaf Volunteering Organization (DVO) yang baru seumur jagung pun menjadi semakin berkembang pesat. Banyak volunteer baru yang bergabung bersama DVO. Banyak sekali kegiatan yang diadakan oleh Gerkatin Solo dan DVO. Dimana ada Gerkatin Solo pasti di situ ada DVO. Karena kami adalah dua kesatuan, dwitunggal. Volunteer yang tergabung dalam DVO kemampuannya sudah semakin meningkat, baik kemampuan dalam volunteering maupun kemampuan dalam berbahasa isyarat. Karena semua kegiatan Gerkatin Solo berhubungan dengan bahasa isyarat maka mau tidak mau kami semua berkomunikasi dengan bahasa isyarat.

Dan dari situlah kemampuan bahasa isyarat teman-teman volunteer diasah. Kami bisa karena terbiasa. Karena terbiasa menjadi teman, sahabat, volunteer, rekan, tim, dan keluarga dengan kawan-kawan tuli. Kami menganggap semuanya adalah keluarga. Ikatan sudah sangat kuat. Itulah yang membuat aku berat meninggalkan mereka semua. Meninggalkan semua kenangan yang sudah tertancap di memori hati.

Baiklah kawan, meninggalkan kalian adalah hal yang sangat berat, sedih. Sedih berpisah dengan kalian. Meninggalkan berjuta-juta kenangan dengan kalian. Melewatkan jutaan kenangan yang akan kalian ciptakan. Melihat kalian berkembang tanpa mengikuti proses kalian. Akan terjadi banyak hal yang tak aku rasakan bersama kalian. Tapi inilah hidup, ada pertemuan pasti ada perpisahan. Hanya jarak yang memisahkan aku dan kalian. Namun tahukah kalian, hati dan pikiranku penuh dengan memori perjalanan kita.

Semoga sukses dan semakin berkembang kawan-kawan Gerkatin Solo dan Deaf Volunteering Organization (DVO). Perbanyak masyarakat yang sadar akan keberadaan kalian. Raih cita-cita membentuk masyarakat inklusi dalam waktu cepat. Sebarkan virus-virus inklusi di Solo dan tentunya di Indonesia. Tetaplah menjadi barometer tuli Indonesia. Semoga sukses kawan, doaku selalu menyertai kalian. 

Deaf Volunteering Organization (DVO) & Gerkatin Solo

Tuesday, November 12, 2013

Deaf Volunteering Organization (DVO) Bersama Karya Pelangi


Melihat dunia, melihat indahnya ciptaan Sang Pencipta. Merasakan nikmat segarnya udara yang bebas kita hirup. Mendengar gemiricik sungai dan derunya ombak lautan semakin menambah sempurna kehidupan kita di dunia. Merasakan dengan seluruh indera yang kita miliki belum mampu membuat diri ini bersyukur akan nikmatnya hidup di dunia. Masih merasa tidak sempurna hidupmu?

Mari tengok sahabat kita yang belum tentu mampu merasakan semua itu, tapi semangatnya bahkan ribuan kali lebih besar dari kita. Apakah mereka merasa tak sempurna? Tidak, justru mereka merasakan kesempurnaan karena rasa syukur mereka kepada Tuhan. Melihat semangat kawan-kawan yang selalu bersemangat dalam meraih asa, Karya Pelangi menjadi wadah yang tepat untuk menampung seluruh kisah inspiratif mereka.

Love, Dream, and Disability. Tema yang diangkat oleh Karya Pelangi. Deaf Volunteering Organization (DVO) melihat Karya Pelangi kelak dapat menjadi inspirator serta motivator bagi para pembaca. Karena Karya Pelangi memiliki visi yang sama dengan DVO, sehingga DVO sangat senang dapat mendukung acara ini. Sesuai nama kami, Deaf Volunteering Organization, kami bergerak dalam dunia disabilitas, khususnya tuli. Namun kami adalah volunteer, yaitu orang-orang berpendengaran normal yang berjuang bersama dengan organisasi tuli dalam memperjuangkan hak-hak tuli di Indonesia.

Perjuangan kawan-kawan tuli di Indonesia masih terus dilakukan. Memang sepertinya tuli tidak butuh banyak bantuan layaknya kawan kita yang berkursi roda, maupun tunanetra. Para pemakai kursi roda dapat aksessibilitas yang cukup baik dengan memodifikasi tangga menjadi sedemikian rupa sehingga dapat diakses dengan menggunakan kursi roda tersebut. Namun bagaimana dengan tuli? Mereka tidak mengalami hambatan fisik maupun intelektual. Apa yang sebenarnya mereka butuhkan?

Tuli membutuhkan akses informasi. Bisa kita lihat, cara berkomunikasi mereka adalah  menggunakan bahasa isyarat. Bahasa isyarat adalah hak tuli, tapi tanpa disadari bahwa selama ini kita telah merampas hak mereka. Di sekolah-sekolah mereka dipaksa menggunakan oral dan dilarang memakai bahasa isyarat. Banyak anggapan “miring” bahwa bahasa isyarat akan membuat tuli menjadi bodoh. Sangat ironis memang, yang seharusnya dalam dunia pendidikan tuli akan mendapatkan banyak informasi, tapi tak semua informasi itu terserap karena disampaikan dengan oral.

Dunia pendidikan tak mampu memberikan informasi yang utuh kepada tuli, maka tuli mencari sumber informasi lain, menonton TV salah satu alternatifnya. Seperti yang kita tahu, TV adalah sumber informasi yang cepat dan selalu up to date. Banyak peristiwa yang baru saja terjadi di belahan dunia lain dan dapat ditayangkan di TV dalam waktu yang hampir bersamaan. Televisi sangat menarik bagi kita, karena merupakan media audio-visual. Tapi sekali lagi, tuli tidak mendapatkan haknya akan informasi. Di TV tidak ada penerjemah bahasa isyarat yang dapat menerangkan apa yang ditayangkan kepada kawan-kawan tuli. Sehingga mereka hanya bisa “menonton” TV tanpa mengetahui apa yang diberitakan.

Biasanya anak-anak tuli menonton TV bersama keluarga di rumah, saat menonton acara komedi yang mana seluruh keluarga tertawa tapi anak tuli tidak tahu apa yang lucu dari acara tersebut karena tak mendengar yang dikatakan oleh komedian. Kadang saat kita menunggu panggilan nomer antrean di kantor pemerintahan, yang mana tidak ada informasi visual yang menunjukkan nomer berapa antrean saat itu. Hal ini sangat menyulitkan teman-teman tuli. itu adalah beberapa contoh yang dialami oleh tuli, yaitu keterbatasan akses informasi.

Peran DVO adalah memberikan contoh nyata kepada masyarakat bahwa antara orang dengar dengan tuli bisa berjalan beriringan. Kami memang volunteer, tapi bagi DVO, teman-teman tuli adalah partner, teman, serta sebagai sahabat. Hubungan volunteer dengan tuli begitu dekat dan hangat, karena saat dimana tuli tidak mendapatkan hak-haknyanya, itu adalah luka bagi kami juga.  Kami melakukan banyak kegiatan bersama dengan Gerkatin Solo, antara lain workshop bahasa isyarat, sosialisasi bahasa isyarat, advokasi pemerintah, pembelajaran manajemen organisasi, serta banyak acara-acara yang dilakukan bersama.

Saat ada teman tuli yang mengikuti seminar, dari DVO menjadi interpreter atau penerjemah bahasa isyarat untuk mengisyaratkan apa yang narasumber bicarakan. Karena apabila tidak ada penerjemah dalam acara tersebut, tuli tidak mendapatkan informasi yang utuh dari acara tersebut. Selama tiga tahun ini, DVO bersama Gerkatin Solo terus-menerus mengikuti berbagai acara di luar komunitas tuli. Hal ini bertujuan agar masyarakat mengerti bahwa penerjemah sangat dibutuhkan apabila ada teman-teman tuli yang menghadiri acara tersebut. Kami bersyukur saat ini sudah banyak komunitas di Solo yang semakin paham dengan hak-hak tuli, yaitu penggunaan bahasa isyarat, penerjemah, serta hal-hal yang sifatnya visual. DVO dan Gerkatin Solo berharap, seluruh masyarakat Indonesia bisa memahami hak-hak tuli sebagaimana yang masyarakat Solo tunjukkan kepada tuli. Masyarakat yang menghormati budaya tuli merupakan masyarakat yang inklusif.

Dengan adanya Karya Pelangi ini, harapan kami masyarakat akan lebih menyadari peran serta difabel di masyarakat, karena mereka juga adalah anggota masyarakat. Sudah bukan saatnya kelompok disabilitas ini menjadi kelompok yang termarginalkan. Cerita-cerita dalam Karya Pelangi ini akan menjadi kumpulan cerita inspiratif yang akan menginspirasi orang tua yang memiliki anak dsabilitas, pendidik, masyarakat umum, serta kawan-kawan disabilitas itu sendiri. Mungkin kawan-kawan disabilitas ada yang semangatnya sedang jatuh, harapan kami setelah membaca Karya Pelangi ini dapat membuat mereka menjadi ribuan kali lebih semangat dari hari kemarin.

Kami yakin Karya Pelangi ini akan menjadi sebuah “pelangi” yang sangat indah dan akan muncul banyak “pelangi-pelangi” lain di seluruh pelosok negeri. Mungkin di ujung negeri  banyak sosok pelangi tak berani muncul karena belum ada “hujan” yang turun, harapannya Karya Pelangi ini dapat menjadi “hujan” bagi mereka, sehingga sinar pelangi mereka dapat menerangi sosok-sosok “calon pelangi” yang lain. Bagi para pejuang volunteer dan siapa saja yang ingin menyumbangkan cerita “pelangi”-nya, mari tuliskan ceritamu ke sini. Bagikan kisah inspiratif anda, satu cerita dapat memunculkan satu pelangi. Mari berbagi di sini dan buat semua orang tahu bahwa disabilitas dapat menembus batas.

Deaf Volunteering Organization (DVO) selalu berjuang bersama tuli untuk memunculkan pelangi-pelangi yang masih tersembunyi. Mari bersama-sama mencari sang pelangi! Salam inklusif.