Thursday, December 12, 2013

Menjadi Besar Melalui Teater Tuli


Masih jelas teringat penampilan teater tuli bulan April 2013 yang lalu. Saat itu repons masyarakat yang sangat luar biasa ingin menyaksikan penampilan kawan-kawan tuli tampil dalam sebuah teater. Tiket presale yang disebar sebelum hari H, ternyata sudah habis terjual. Hanya tersisa tiket on the spot yang jumlahnya terbatas.

Yang tidak bisa masuk karena kehabisan tiket selalu menanyakan kapan teater tuli akan dipentaskan lagi. Kami selalu bilang bahwa kami belum tahu kapan pastinya. Momen yang sangat luar biasa tentunya jika kami dapat menyuguhkan teater yang sama besarnya seperti ini. Menggelar teater yang terdiri dari bermacam-macam organisasi tentunya tidak mudah. Menyatukan jadwal adalah hal yang paling berat. Tentunya setiap organisasi memiliki program kerja masing-masing.

Namun, itu semua tak mustahil dilakukan asal ada komitmen untuk merealisasikannya. Dan di Solo baru pertama kali diadakan teater tuli yang berkolaborasi dengan berbagai macam organisasi. Adalah Deaf Volunteering Organization (DVO) sebagai penggagas dan tuan rumah acara teater ini. Berkolaborasi dengan Gerkatin (Gerakan Untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) Solo, BKKT UNS (Badan Koordinasi Kesenian Tradisional Universitas Sebelas Maret) dan Kelompok Teater Peron Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan UNS. Antusiasme yang sangat luar biasa, baik dari orang tua, pendidikan, organisasi seni, maupun dari masyarakat umum mengenai teater yang kami pentaskan.

Cerita teater yang kami angkat adalah mengenai kehidupan nyata anak-anak tuli dan keluarga yang memiliki anak tuli. Anak-anak tuli yang tidak diperbolehkan keluar rumah karena merupakan aib keluarga yang harus ditutupi, tuli tidak bisa melakukan apa-apa sehingga percuma jika bersekolah atau sekedar bersosialisasi dengan tetangga. Hal tersebut masih sering dijumpai di desa-desa bahkan di perkotaan. Dengan pementasan teater ini, kami sekaligus mengedukasi kepada orang tua dan kepada pendidik bahwa tuli tidaklah yang seperti dibayangkan. Tuli dapat melakukan semuanya, kecuali mendengar. Bahasa isyarat tidak membodohkan tuli, justru pengetahuan luas jika informasi disajikan dalam bentuk bahasa isyarat.

Pahamilah bahwa bahasa isyarat adalah hak orang tuli. Hak yang sudah dijamin oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) bahwa semua orang/negara harus menghormati dan mengakui bahasa isyarat sebagai bahasa yang setara dengan bahasa nasional negaranya. Tapi melihat realita yang ada, justru guru melarang siswa tuli menggunakan bahasa isyarat. Padahal bahasa isyarat adalah bahasa ibu orang-orang tuli. Bisa diibaratkan kita merampas tongkat orang buta yang berjalan sendirian. Menyakitkan bukan?

Bahasa isyarat sangat penting bagi tuli. Terutama untuk mendapatkan informasi. Betapa susahnya membaca gerakan bibir untuk menebak apa yang dikatakan seseorang. Apalagi jika berada dalam acara seminar yang pembicaranya berada jauh dari penonton. Dipastikan tak akan bisa membaca gerak bibirnya. Microphone yang menutupi mulutnya saat berbicara, dan tuli tak bisa membaca gerakan bibirnya. Maka dari itu butuh bahasa isyarat yang menginterpretasikan apa yang diucapkan oleh sang pembicara. Dengan begitu, semua informasi akan terserap dengan baik.

Anak-anak tuli memiliki rasa percaya diri yang rendah saat menggunakan bahasa isyarat, karena sejak awal di otaknya sudah tertanam bahwa bahasa isyarat itu “buruk”. Jadi mereka banyak yang merasa dilema, antara nyaman dan malu. Mereka nyaman menggunakan bahasa isyarat tapi malu bila dilihat orang saat berbahasa isyarat. Atau bukan karena malu, tapi takut jika ketahuan oleh guru saat berisyarat, akan dihukum. Begitu banyak hal yang terjadi dalam kehidupan nyata yang tak dimengerti oleh orang berpendengaran normal. Bahkan sebagian pendidik yang belum tahu atau tidak mau tahu kebutuhan anak-anak tuli.

Advokasi yang telah dilakukan oleh kawan-kawan tuli seakan hanya angin lalu. Tak ada bekasnya. Maka dari itu, kami mencari cara lain untuk mengadvokasi pada pemerintah, orang tua, masyarakat, dan untuk tulinya sendiri. Ya, dengan seni. Seni dapat menghubungkan dan menyampaikan pesan dengan baik. Dan dengan seni, kita dapat menyampaikan pesan dengan sangat jelas sekaligus menggambarkan realita yang sebenarnya dibandingkan memakai proposal atau bentuk-bentuk tulisan yang lain.

Bulan November yang lalu, Gerkatin Solo diundang untuk tampil dalam acara Festival Teater Pelajar se-Jawa Tengah. Suatu hal yang sangat luar biasa. Karena Gerkatin Solo baru pentas teater pertama kali bulan April yang lalu tapi sudah mendapat kehormatan menjadi bintang tamu dalam acara besar ini. Ternyata pentas bulan April yang lalu menyedot perhatian dari berbagai pihak.

Saya yang sekarang berdomisili di Bekasi, menyempatkan menonton pentas Gerkatin Solo. Ada rasa yang sangat aku rindukan, yaitu teman-teman tuli Solo yang penuh semangat dan keceriaan. Sungguh rasa rindu yang sudah tertahan lama, terobati sudah. Melihat mereka latihan, membuat properti, ah aku merindukan semuanya! Di Solo saya tak hanya bertemu teman-teman tuli, tapi dengan kawan-kawan volunteer. Ya, kawan-kawan DVO yang punya semangat juang tinggi.

Kepanitiaan teater kali ini adalah sepenuhnya tuli yang menjadi ujung tombaknya. Dalam mencari dana sponsor, pembuatan proposal, bahkan dalam hal pemain semuanya adalah teman-teman tuli. Jadi peran volunteer hanya sebagai jembatan penghubung serta membantu hal-hal yang dirasa belum mereka pahami. Hal ini sudah terbiasa kami lakukan, sehingga teman-teman tuli dapat belajar bagaimana proses membuat acara. Bagaimana rasanya saat suatu acara itu sukses terselenggara dengan kerja keras mereka sendiri. Pasti ada suatu kebanggaan tersendiri memiliki kesempatan membuat suatu acara, banyak pengalaman yang didapat, memahami akan adanya perbedaan pendapat dan berbagai karakter personal di dalam kerja tim tersebut.

Pementasan di Festival Pelajar November lalu, Gerkatin Solo menampilkan teater “tanpa dialog”. Menggunakan bahasa isyarat sepanjang pementasan. Apakah tak ada yang mengerti maksudnya? Tidak. Bahkan penonton begitu antusias menyaksikan pementasan tersebut. Karena rasa penasaran ingin tahu bagaimana pementasan tuli. Teman-teman tuli tak berdialog menggunakan suara, mereka berdialog dengan sesama pemain maupun penonton menggunakan bahasa isyarat.

Teman-teman tuli memiliki ekspresi wajah yang alami, sehingga pesan yang ingin disampaikan benar-benar sampai kepada penonton. Ada gelak tawa sepanjang pementasan teater ini. Penonton melihat gerakan dan ekspresi wajah pemain yang menampilkan sisi parodi. Tiap segmen riuh tepuk tangan penonton sangat meriah, bahkan lebih meriah dari peserta yang tampil sebelum-sebelumnya.

Saya yang menyaksikan pun begitu terhibur melihat penampilan teman-teman tuli. Tiap pergantian segmen, lampu panggung dimatikan, sehingga rasa penasaran ingin segera melihat penampilan mereka yang lain. Dan tiap segmen pasti membuat kejutan-kejutan yang menghibur penonton. Pantas jika penampilan mereka sangat dinantikan.

Teater yang berjudul “Dongempi” disutradarai oleh Sandhi. Mahasiswa Pendidikan Luar Biasa (PLB) UNS yang mencintai bidang seni, teater khususnya. Dan sekali lagi, pementasan Gerkatin Solo berhasil mendatangkan teman-teman tuli dari daerah lain yang jauh-jauh datang untuk menyaksikan pementasan ini. Ada dari Jogja, Salatiga, Semarang, Jawa Timur, dan beberapa daerah lain. Mereka merasa rindu ingin melihat teman-teman tuli pentas teater. Seperti yang kita tahu, kesempatan untuk tuli tampil sangatlah sedikit, tak banyak media yang menampilkan sisi “lain” dari tuli. Media lebih banyak melihat sisi dimana disabilitas adalah orang yang harus dikasihani, membutuhkan pertolongan, dan berbagai image “negatif” lainnya.

Dengan pertunjukan teater ini, kami yakin bahwa ini adalah cara yang ampuh untuk mengedukasi masyarakat mengenai tuli serta meluruskan pandangan masyarakat mengenai tuli. Dan yang terpenting pemerintah dapat memahami kebutuhan tuli dalam bidang informasi dan pendidikan. Jangan lagi mendiskriminasi bahasa isyarat, ini bahasa ibu tuli. Bahasa yang seharusnya dapat berkembang setara dengan bahasa Indonesia. Berilah tuli kesempatan untuk menentukan kebijakan, karena kamilah yang mengetahui kebutuhan kami yang sebenarnya. Bukan orang-orang berpendengaran normal yang merasa paling tahu mengenai tuli, tapi tidak pernah berinteraksi lebih jauh dengan tuli.

Tak ada yang berbeda dari tuli, semua hal dapat mereka lakukan, kecuali mendengar. Mereka dapat mendengar, bukan telinga, tapi dengan mata.

Aku bisa
Kamu Bisa
Kita Sama

Mengumpulkan Semangat
(foto: @ian_trihananto)

Adegan teater
(foto: @ian_trihananto)

Adegan Teater

Adegan Teater

Sunday, December 8, 2013

Lihat dan Rasakan Sensasi Teater Tuli

Tak pernah terpikir bahwa aku akan bermain teater, bahkan punya niatan bermain teater saja tidak pernah terlintas. Karena aku tahu diri tak ada bakat dalam bermain dalam dunia seni peran. Namun semuanya berbalik, tepatnya tanggal 4 April 2013. Itu adalah tanggal pentas yang akan menampilkan teman-teman tuli dan berkolaborasi dengan beberapa organisasi.
                
For your information, ini adalah kali pertama teman-teman tuli pentas kolaborasi dengan orang dengar. Jadi kita tak bisa membayangkan “kejutan” apa yang akan terjadi saat pentas. Dari sisi kepanitiaan, yang menjadi koordinator adalah tuli, kita yang orang dengar bertugas menyokong dari belakang. Ketua panitia pelaksana dan ketua masing-masing bagian adalah tuli. Teman-teman dengar bertugas untuk memberikan mereka “pengalaman langsung” dalam segi kepanitiaan.

Setelah beberapa kali rapat, aku melihat kinerja mereka sangat bagus. Mereka bekerja sesuai dengan tugasnya. Yang paling berkesan adalah dalam bidang sponsorship. Kebetulan aku masuk dalam bagian sponsorship dan bertugas mencari sponsor dari perusahaan-perusahaan. Pertama, aku yang maju untuk memberikan contoh pada teman tuli bagaimana alur memasukkan proposal ke sebuah perusahaan. Dan perusahaan pertama selesai. Kemudian kami berpindah ke perusahaan kedua, ini giliran teman tuli yang maju. Tak ada rasa canggung atau malu pada dirinya. Ah keren amat sih dia, pikirku.

Hari berikutnya kita berbagi tugas untuk berkeliling ke perusahaan-perusahaan lain. Teman-teman tuli melakukan tugasnya dengan sangat baik. Hasil dari sponsorship ini memang penting untuk pentas teater ini, tapi yang lebih penting dari hal ini adalah dapat mengasah kepercayaan diri dan dapat berproses belajar bagaimana kerja sama dalam sebuah tim baik dengan sesama tuli maupun orang dengar.
      
Persiapan teater ini cukup lama, sekitar 4 bulan. Sangat melelahkan bagiku, setiap pagi aku bekerja, sore bekerja, dan malamnya latihan teater hingga larut. Tapi yang lebih mengherankan lagi, justru teman-teman tuli latihannya sangat bersemangat, mereka pasti punya kesibukan masing-masing. Tapi hampir tak nampak wajah lelah mereka saat latihan persiapan teater ini. Dua jempol untuk mereka!!

Pentas teater ini diiniasi oleh Deaf Volunteering Organization (DVO), yang bekerjasama dengan Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) Solo, BKKT UNS (Badan Koordinasi Kesenian Tradisional Universitas Sebelas Maret), dan Teater Peron FKIP UNS. Pada mulanya aku dan beberapa teman hanya sekedar nongkrong di sebuah angkringan (semacam warung kaki lima) ngobrol-ngobrol tentang rencana kita untuk membuat suatu acara. Faiz dan Budi, mereka adalah kawanku yang merupakan anggota BKKT UNS, serta Epik, anggota Teater Peron FKIP UNS, membicarakan bagaimana caranya berkontribusi untuk mengenalkan difabel ke masyarakat supaya tidak selalu dipandang negatif. Berbagai ide muncul, mulai dari perkusi disertai aksi teatrikal, keliling ke sekolah-sekolah untuk mengumpulkan dana, dan ide-ide lainnya.

Kemudian terbersit ide yang cuma nyeplos, bagaimana kalau kita buat sebuah pentas teater tuli yang menggabungkan BKKT dan Peron?, kataku. Yaaah mereka semua sutuju, tapi belum jadi obrolan yang serius. Dan pada akhirnya kami menghubungi masing-masing organisasi untuk membicarakan acara kami ini. Dari DVO dan Gerkatin Solo setuju, BKKT setuju, serta Peron UNS setuju, acara berjalan. Selanjutnya kami melakukan rapat perdana yang bertujuan untuk mengumpulkan semua anggota yang akan terlibat dalam pentas teater ini. Rapat perdana usai, artinya perjuangan panjang kami segera dimulai

Tantangan yang besar terjadi di tengah-tengah proses persiapan teater ini. Terjadi beberapa perubahan rencana pentas, yang awalnya bulan Februari, mundur bulan Maret, dan hingga akhirnya fix tanggal 4 April 2013. Banyaknya pemain yang belum siap menjadi kendala, dan juga karena April adalah bulan dimana Ujian Nasional diselenggarakan, maka kawan kami yang bersekolah di SMP dan SMA tingkat akhir mengundurkan diri dari proses teater ini. Ditambah lagi ada beberapa kawan kami dari BKKT yang menjadi pemeran dalam teater ini harus mengikuti KKN (Kuliah Kerja Nyata) selama 4 bulan di Jogja. Sehingga dari sutradara memutuskan untuk merotasi pemain, mengubah naskah,  dan mengubah beberapa adegan dalam teater ini. Salut untuk pak sutradara :D

Aku juga minta maaf untuk sutradara, sekaligus berterimakasih atas kesabarannya melatihku dalam berakting menjadi Pak Lurah. Berkali-kali ditegur kurang ekspresi, kurang menghayati, kurang latihan, tidak hafal-hafal naskah, dan lain sebagainya, mohon maaf deh ya. Ini pertama kalinya bermain teater. Latihan selama 4 bulan ini kita berlatih seminggu 3 kali. Tempat latihan menjadi kendala para pemain. Karena rumah yang berseberangan, sehingga mencari tempat latihan yang berada tepat di tengah-tengah kota sangat sulit. Ada beberapa pilihan yaitu di SLB Negeri Surakarta, Universitas Sebelas Maret (UNS), dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Di SLB Negeri Surakarta bisa dipakai, tapi kita tak boleh berteriak-teriak karena mengganggu tetangga (kita pernah diprotes), jika di UNS banyak tempat latihan, tapi akan kejauhan bagi kawan-kawan yang berada di bagian barat Solo. Sedangkan di UMS ada tempat, tapi bagi yang bertempat di Solo bagian timur merasa kejauhan. Akhirnya dalam rapat lanjutan kami mengambil voting untuk tempat latihan, dan dengan selisih voting tipis, terpilihlah UMS sebagai tempat latihan kami. Latihan dimulai jam 7 hingga jam 10 malam. Yap semangat kawan-kawan deaf tetap menggebu.

H-7 Pentas

Membuat suatu kegiatan yang panitianya merupakan kolaborasi dari berbagai organisasi cukup membuat kesulitan untuk menyatukan waktu latihan. Disamping BKKT dan Peron yang sangat sibuk dengan berbagai acaranya, mereka harus latihan juga dengan kami dalam teater ini. Bahkan kami baru sekali latihan bersama antara DVO, Gerkatin, Peron, dan BKKT UNS. Namun, semua itu tak menyurutkan langkah kami yang sudah semakin dekat. Latihan bersama sangat sulit, karena menyatukan antara adegan teater, gerakan hiphop, dan tarian dari teman-teman tuli.

Kesulitan yang dihadapi oleh BKKT UNS adalah, mereka baru pertama kali ini mengadakan pentas dengan tuli. Karena biasanya mereka dengan mudah bilang kepada pemerannya untuk mengikuti suara musik, tapi berkolaborasi dengan tuli itu menjadi hal yang berkebalikan bahwa BKKT yang harus mengikuti gerakan tuli. mereka bilang ini pengalaman yang sangat “wow”.

Pada H-7, kami sudah memiliki gambaran seperti apa kelak penampilan teater kami. Ada tarian dari teman-teman tuli, ada hiphop, puisi dengan bahasa isyarat, adegan teater, dan tarian-tarian teatrikal yang mengandung unsur cerita dalam rangkaian teater. Hal yang sangat membuat haru dan bangga, bukan hanya bagi DVO, tapi bagi Gerkatin, orang tua, dan masyarakat awam pada umumnya.
Hari Pentas

Tiket yang sudah disebar sebelum hari pentas ternyata sudah hampir habis, hal ini sempat membuat kaget seluruh panitia. Kaget karena senang dengan antusias masyarakat yang sangat besar untuk menonton pentas ini, dan kaget karena khawatir jika penonton yang membeli tiket on the spot tak bisa terlayani. Tiket yang sudah disebar sejumlah 400-an lembar, namun hanya tersisa beberapa lembar. Untung saja kami sudah menyiapkan tiket cadangan. Rapat persiapan akhir untuk memastikan semua dalam keadaan prima, baik dari penjaga pintu, lighting, dan antisipasi jika penonton membludak.

Pada hari pentas ini kami sangat berterimakasih kepada Teater Tulang, yang telah membantu kami dalam segala hal. Baik dalam koordinasi pemain, koordinasi teknis acara, dan yang paling penting Teater Tulang sangat membantu dalam dekorasi panggung. Dekorasi panggung yang sangat bagus disuguhkan oleh Teater Tulang. Bahkan Teater Tulang membantu dalam make up artis, dan mengerahkan seluruh pasukannya untuk membantu pentas kami ini. Sungguh kekuatan yang luar biasa dan tak terduga yang mendukung pentas kami ini.

Pukul 18.00 semua pemain sudah siap. Dan kami sangat gugup menanti pintu teater dibuka. Seperti biasa, sebelum pentas digelar semua pemain dan kru berkumpul melingkar di tengah panggung untuk berdoa. Kata-kata penyemangat dari sutradara dan kru yang lain untuk kami sangat membuat semangat menggebu. “Panggung ini milik kalian, malam ini kalian ditonton banyak pasang mata yang penuh rasa penasaran akan pertunjukan ini. It’s your day!!”

Tepat pukul 19.00 pintu Teater Besar Taman Budaya Jawa Tengah dibuka. Suara riuh penonton terdengar hingga balik panggung. Oh jantung rasanya berdetak 100 kali ritme normal. Rasanya lebih gugup dari ujian skripsi. Pertama kali jadi pemain teater dan langsung menjadi pemeran utama, Tuhan beri hamba kekuatan, bisikku dalam hati. Lima belas menit kemudian aku mengintip suasana Teater Arena dari belakang panggung. Woooooww penonton penuh! Jantung semakin berdetak kencang membayangkan aku akan berada di tengah panggung itu dalam beberapa menit kemudian. Kakiku ikut bergetar dan tiba-tiba Epik menarikku ke belakang panggung menjauhkanku dari hiruk pikuk penonton. “Jangan lihat ke sana, biarkan para penonton menjadi kejutan buatmu”, katanya. Jadikan aura penonton menjadi semangatmu di panggung nanti, tambah Epik.

Mulai masuk acara pada pukul 19.30. Dibuka oleh pembawa acara Mega Safira, Kepala Sekolah Akademi Berbagi Solo. Sambutan pertama oleh ketua panitia, Ryan. Mungkin banyak penonton yang heran karena sambutannya dibawakan dengan menggerak-gerakkan tangan semacam sandi rahasia dalam pramuka. Ryan adalah seorang tuli, jadi dia memberi sambutan dengan memakai bahasa isyarat. Dibantu oleh seorang interpreter yang menerjemahkan apa yang Ryan katakan kepada penonton. Ketua panitia sangat berterimakasih kepada penonton yang sudah memenuhi Teater Arena, pihak-pihak yang mendukung acara ini, dan kepada pemain serta sutradara yang telah berlatih dengan keras. Sambutan ketua panitia memukau para penonton karena seorang tuli dengan percaya diri bercerita dengan bahasa isyarat di depan panggung, karena selama ini mereka melihat tuli jika di acara-acara TV selalu oral dan tanpa menggunakan bahasa isyarat.

Kemudian sambutan kedua oleh ketua Gerkatin Solo, Muhammad. Hal ini juga dilakukan dengan menggunakan bahasa isyarat. Dengan kemampuan Muhammad bercerita tentang hak-hak tuli di Indonesia, advokasi yang telah Gerkatin Solo lakukan kepada pemerintah, hingga ceritanya mengenai kehidupan tuli di Inggris. Ya dia beberapa waktu lalu diundang ke Inggris untuk tinggal selama 1,5 bulan mempelajari organisasi tuli dan aktivitas tuli di sana. Sekali lagi, sambutan dari Muhammad telah menyadarkan masyarakat bahwa ada banyak hak-hak tuli di Indonesia yang belum terpenuhi.

Sambutan terakhir adalah dari DVO, yaitu oleh Christian. Dia bercerita mengenai awal mula DVO terbentuk serta jumlah anggota yang sangat terbatas. Di sini ditekankan bahwa untuk menjadi anggota DVO tidak harus fasih berbahasa isyarat, namun semua orang yang punya visi untuk berjuang bersama tuli itulah yang kami perlukan.  Bahkan orang-orang yang membantu kami di acara teater ini merupakan volunteer. Mereka tidak bisa bahasa isyarat, namun mereka tergerak hatinya untuk bersama-sama mensukseskan acara ini. Memang kuantitas itu berpengaruh, tapi mencari orang-orang yang berkualitas itu yang sangat kami perlukan.

Tepat pukul 20.00 pagelaran teater dimulai. Inilah saat-saat yang sangat mendebarkan untukku. Pertunjukan pertama diawali dengan aksi teatrikal oleh teman2 tuli. yang isinya adalah menggambarkan janin di dalam perut sang ibu yang kelak lahir anak tuli. Saat aksi teatrikal ini berlangsung, adegan berikutnya adalah aku, dan aku muncul dari depan yaitu dari bangku penonton. Oh Tuhan, setelah masuk ke dalam Teater Arena aku melihat penonton sangat penuh, bahkan banyak yang duduk di tangga dan lesehan. Belum pernah melihat Teater Arena disesaki oleh penonton yang membludak seperti ini. Luar biasa!


Aksi teatrikal selesai dan tepuk tangan penonton sangat membahana, terlihat raut kekaguman di wajah mereka. Oh ya, karena penonton di sini ada banyak teman tuli, jadi cara tepuk tangan penonton mengikuti cara tepuk tangan teman-teman tuli, yaitu dengan menggerak-gerakkan kedua tangan di atas. Karena teman-teman tuli lebih visual, dengan melihat banyak tangan yang diangkat tersebut, semangat tuli menjadi lebih besar. Dan aku ada di deretan tangga yang penuh sesak penonton melihat dengan jelas bahwa penonton sangat penasaran dengan pagelaran teater kami ini.

Mungkin yang terlihat “aneh” dari teater ini adalah adanya dua orang di sini kanan dan kiri panggung yang disorot lampu, mereka berbahasa isyarat sepanjang acara. Ya, mereka adalah penerjemah bahasa isyarat yang menerjemahkan dialog-dialog teater kepada penonton tuli. Ini pertama kalinya penonton melihat cara menerjemahkan dan sekali lagi ini membuat teater kami berbeda. Giliranku untuk masuk adegan ke atas panggung. Di sini atmosfer ratusan pasang mata penonton tertuju ke arahku, deg, jantungku memompa darah jutaan kali lebih cepat. Tangan dan kaki begitu gemetar tak terkontrol. Saat berdialog, aku mensiasatinya dengan berjalan kaki supaya tidak terlihat kalau kakiku ini bergetar hebat.

Teater ini menceritakan sebuah keluarga Lurah yang memiliki anak tuli. Aku berperan sebagai Joko, seorang lurah, sifatku yang tak bisa menerima Laras, anak Joko yang tuli. Sehingga Joko mengurungnya di rumah selama sepuluh tahun karena malu kalau orang lain melihat bahwa anaknya adalah tuli. Namun Bu Lurah sangat sabar, dia selalu percaya bahwa anaknya adalah anak yang pintar, karena dikurung di rumah sehingga Laras tidak bisa berkembang. Berkali-kali gejolak keluarga antara Pak Lurah dengan Bu Lurah yang membuat Laras kabur dari rumah. Kemudian Laras ditemukan oleh sebuah keluarga tuli, yaitu ibu dan semua anak-anaknya tuli. Laras nyaman berada di keluarga tersebut dan tidak mau pulang bersama ayahnya. Ayah dan ibunya sedih membujuknya untuk pulang ke rumah. Akhirnya Laras bersedia pulang, tapi dia ingin mengajak teman-temannya itu pulang ke rumah bersamanya. Setelah Pak Lurah berpikir sejenak, dia mengizinkan teman-teman Laras pulang ke rumah, dan mengangkatnya sebagai anak serta akan menyekolahkan mereka semua.

Penampilan teater ditutup dengan puisi bahasa isyarat yang ditampilkan oleh seluruh pemain. Untuk kesekian kalinya riuh tepuk tangan dan lambaian tangan penonton tak henti-hentinya mereka berikan kepada kami. Tampak berbagai macam ekspresi di wajah para penonton. Banyak yang merasa terharu dengan cerita teater ini. Beberapa penonton sadar bahwa selama ini banyak yang mendiskriminasikan tuli dan tidak menghargai hak tuli yaitu bahasa isyarat. Teman-teman tuli yang menonton teater ini mengaku terharu karena mengingat perlakuan orang tua terhadap mereka, begitu juga dengan orang tua yang memiliki anak tuli merasa bersalah karena tidak memahami anaknya.

Pagelaran selesai dan kami mendapatkan banyak ucapan selamat dari para penonton serta sahabat kami. Mereka sangat puas dengan pertunjukan teater ini. Sungguh sangat mengharukan. Hari sudah semakin larut dan semua harus pulang beristirahat. Rasanya masih tak percaya bahwa hari ini aku bermain teater dan mendapat sambutan yang sangat luar biasa. Keesokan harinya, kami membuka beberapa situs portal berita. Sungguh tidak kami sangka, bahwa teater kami masuk ke dalam berita di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Pencapaian yang sangat tidak kami duga bahwa pertunjukan teater kami telah menarik minat banyak orang yang ingin tahu lebih dalam mengenai pertunjukan ini. Selain TV, pertunjukan teater kami semalam masuk ke dalam portal berita nasional, semua portal berita lokal, dan surat kabar. Facebook dan twitter penuh dengan ucapan selamat dan kekaguman dari para penonton.


Usaha-usaha yang telah kami lakukan tersebut adalah untuk mengedukasi masyarakat bahwa kami merupakan bagian dari masyarakat. Jangan marginalkan kelompok tuli, kami punya hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Pertunjukan teater ini telah menyadarkan masyarakat, praktisi pendidikan pada khususnya, bahwa bahasa isyarat adalah hak tuli, jangan melarang bahasa isyarat. Terbukti dengan bahasa isyarat semua informasi teater dapat tersampaikan kepada teman-teman tuli. Aku harap, semangat kawan-kawan Gerkatin Solo dan DVO dapat menular ke daerah-daerah lain di Indonesia. Tuli jangan takut, tunjukkan potensimu kepada dunia. Aku bisa, kamu bisa, semua bisa.

Tulisan ini bisa dibaca di buku Karya Pelangi, kumpulan cerita dari sahabat, keluarga, volunteer untuk disabilitas serta dari masyarakat umum. Dengan membeli buku Karya Pelangi secara online, kamu turut menyumbang untuk pembangunan Perpustakaan Pelangi di Solo.

Tuesday, November 19, 2013

Perpisahan Sesaat

Setiap keputusan pasti ada risiko yang harus diambil. Pasti ada sisi positif dan negatifnya. Keputusan adalah pilihan. Pilihan itu yang harus aku pilih.

Setelah bekerja di sebuah SLB selama satu tahun lebih, banyak pengalaman yang aku dapatkan di sana. Sebagai fresh graduate tentunya yang dicari adalah pengalaman sebanyak-banyaknya. Di SLB mendapatkan banyak sekali pelajaran dalam hal pendidikan, kehidupan, relasi, dan sistem sekolah yang dulu tidak ada dalam mata kuliah.

Memang sedih berpisah dengan SLB dan murid-muridku di sana. Namun yang lebih sedih adalah berpisah dengan kawan-kawan di Gerkatin Solo dan Deaf Volunteering Organization (DVO). Mereka sudah menjadi keluargaku selama di Solo. Banyak hal yang aku dapatkan dari sana. Keluh, lelah, gesekan, begadang, senang, bangga, dan semua perasaan bahagia terkumpul menjadi satu di sana.

Ada pertemuan pasti ada perpisahan. Kalimat yang mudah diucapkan saat memberi semangat kepada kawan, tapi entah kenapa begitu sulit dijalani sendiri. Kalau ada pertemuan janganlah ada perpisahan, inginnya seperti itu. Egois sekali memang. Tapi sekali lagi, ini adalah pilihan. Dan setelah berpikir berbulan-bulan akhirnya kuputuskan untuk pindah dari Solo dan meninggalkan kawan-kawan di sini. Meninggalkan bukan dalam artian lepas dari mereka sepenuhnya. Hanya berpisah jarak, namun masih tetap berada dalam dunia tuli.

Ya itu kalimat penghiburku, “hanya berpisah jarak, tapi tetap dalam satu dunia, tuli.” Begitu berat meninggalkan mereka yang telah membentuk pemikiranku bahwa kita harus sadar di suatu kelompok besar, ada sebuah kelompok minoritas yang memiliki hak-hak yang setara dengan kelompok mayoritas.

Kepindahanku dari Solo adalah ke Bekasi. Membangun sebuah sekolah baru dengan kurikulum yang berbeda dengan di Indonesia. Melihat banyaknya tuli yang belum mengenal jati dirinya sebagai tuli, banyak yang belum sadar bahasa isyarat adalah hak mereka, dan banyak kemampuan membaca tuli dewasa yang sama dengan kemampuan membaca anak SD berpendengaran normal. Bertahun-tahun bersekolah kenapa kemampuan membaca dan menulis tuli masih rendah? Apa yang salah?

Di sekolah yang akan dibangun di Bekasi inilah yang membuat aku pindah dari Solo. Kota yang banyak memberikan kenangan dan pengalaman. Di sekolah Bekasi akan menggunakan kurikulum yang berbeda dengan kurikulum yang dipakai oleh SLB. Di sana menggunakan Metode Bilingual. Yaitu bahasa isyarat sebagai bahasa pengantar pertama dalam pembelajaran. Dan bahasa Indonesia adalah bahasa kedua.

Aku belum tahu akan seperti apa kehidupan di Bekasi. Yang di Solo kehidupan sudah tertata. Pagi hari mengajar di SLB, sore belajar, dan malamnya kegiatan bersama Gerkatin Solo dan DVO. Tiada hari tanpa bertemu mereka. Bahkan pada hari Minggu dari pagi sebelum ayam berkokok hingga berganti hari masih bersama kawan-kawan Gerkatin Solo dan DVO. Aktivitas yang melelahkan namun terasa begitu menyenangkan.

Solo begitu banyak kegiatan antara tuli dan volunteer, entah itu ada rapat rutin ataupun belajar Bahasa Indonesia ataupun belajar Bahasa Isyarat. Tiap hari ada aja kegiatan. Di Bekasi bagaimana budaya tuli di sana, aku belum punya gambaran. Bahkan aku tidak punya kenalan tuli asal Bekasi. Tapi biar bagaimanapun, ini masih dalam dunia tuli, dunia yang sangat luar biasa.

Telah banyak kegiatan yang aku lalui bersama Gerkatin Solo. Setiap dua minggu sekali kami membuka stand bahasa isyarat di Car Free Day (CFD). Belajar bahasa isyarat di CFD ini adalah yang pertama di Indonesia yang digelar secara rutin. Hal yang sangat membanggakan tentunya. Melihat teman-teman tuli yang konsisten membuka stand di CFD, serta melihat kompaknya kerja sama antara tuli dan volunteer. Aku awalnya tidak mengetahui seberapa besar dampak dari membuka stand di CFD ini, karena kami melakukannya dengan harapan masyarakat Solo sadar akan adanya tuli yang memakai komunikasi dengan bahasa isyarat dan mengedukasi masyarakat bahwa bahasa isyarat bukan “bahasa tarzan.”

Di benak teman-teman tuli dan volunteer tidak ada harapan yang tinggi dengan stand bahasa isyarat di CFD ini. Hanya sebatas masyarakat mau belajar bahasa isyarat dan mengerti setidaknya abjad bahasa isyarat. Namun, Tuhan memiliki rencana lain. Kami tidak menyangka bahwa kegiatan CFD yang selalu kami unggah di media sosial ternyata memiliki dampak yang sangat besar bagi tuli, bagi tuli di Indonesia. Wow apa ini terlalu berlebihan? Tuli di Indonesia memandang kegiatan kami sebagai kegiatan yang luar biasa, yang tak pernah dilakukan oleh komunitas tuli dimanapun. Secara diam-diam kegiatan kami di CFD menjadi inspirator bagi komunitas tuli daerah lain untuk melakukan hal yang sama.

Selain kegiatan di CFD, kami melakukan kegiatan dengan berbagai komunitas di Solo. Sekali lagi, harapan kami hanya bisa ikut berpartisipasi dalam kegiatan komunitas di Solo dan menjalin kerja sama dengan mereka. Tapi, itu tidak sesuai harapan kami karena kami bahkan dilibatkan lebih jauh lagi. Woow di luar prediksi kami semua. Setiap ada acara di Solo, Gerkatin Solo tidak pernah absen dari undangan, baik itu kegiatan pemerintah maupun kegiatan sosial dan komunitas.

Semakin berkembangnya Gerkatin Solo, kebutuhan akan tenaga yang support kegiatan juga semakin besar. Deaf Volunteering Organization (DVO) yang baru seumur jagung pun menjadi semakin berkembang pesat. Banyak volunteer baru yang bergabung bersama DVO. Banyak sekali kegiatan yang diadakan oleh Gerkatin Solo dan DVO. Dimana ada Gerkatin Solo pasti di situ ada DVO. Karena kami adalah dua kesatuan, dwitunggal. Volunteer yang tergabung dalam DVO kemampuannya sudah semakin meningkat, baik kemampuan dalam volunteering maupun kemampuan dalam berbahasa isyarat. Karena semua kegiatan Gerkatin Solo berhubungan dengan bahasa isyarat maka mau tidak mau kami semua berkomunikasi dengan bahasa isyarat.

Dan dari situlah kemampuan bahasa isyarat teman-teman volunteer diasah. Kami bisa karena terbiasa. Karena terbiasa menjadi teman, sahabat, volunteer, rekan, tim, dan keluarga dengan kawan-kawan tuli. Kami menganggap semuanya adalah keluarga. Ikatan sudah sangat kuat. Itulah yang membuat aku berat meninggalkan mereka semua. Meninggalkan semua kenangan yang sudah tertancap di memori hati.

Baiklah kawan, meninggalkan kalian adalah hal yang sangat berat, sedih. Sedih berpisah dengan kalian. Meninggalkan berjuta-juta kenangan dengan kalian. Melewatkan jutaan kenangan yang akan kalian ciptakan. Melihat kalian berkembang tanpa mengikuti proses kalian. Akan terjadi banyak hal yang tak aku rasakan bersama kalian. Tapi inilah hidup, ada pertemuan pasti ada perpisahan. Hanya jarak yang memisahkan aku dan kalian. Namun tahukah kalian, hati dan pikiranku penuh dengan memori perjalanan kita.

Semoga sukses dan semakin berkembang kawan-kawan Gerkatin Solo dan Deaf Volunteering Organization (DVO). Perbanyak masyarakat yang sadar akan keberadaan kalian. Raih cita-cita membentuk masyarakat inklusi dalam waktu cepat. Sebarkan virus-virus inklusi di Solo dan tentunya di Indonesia. Tetaplah menjadi barometer tuli Indonesia. Semoga sukses kawan, doaku selalu menyertai kalian. 

Deaf Volunteering Organization (DVO) & Gerkatin Solo

Tuesday, November 12, 2013

Deaf Volunteering Organization (DVO) Bersama Karya Pelangi


Melihat dunia, melihat indahnya ciptaan Sang Pencipta. Merasakan nikmat segarnya udara yang bebas kita hirup. Mendengar gemiricik sungai dan derunya ombak lautan semakin menambah sempurna kehidupan kita di dunia. Merasakan dengan seluruh indera yang kita miliki belum mampu membuat diri ini bersyukur akan nikmatnya hidup di dunia. Masih merasa tidak sempurna hidupmu?

Mari tengok sahabat kita yang belum tentu mampu merasakan semua itu, tapi semangatnya bahkan ribuan kali lebih besar dari kita. Apakah mereka merasa tak sempurna? Tidak, justru mereka merasakan kesempurnaan karena rasa syukur mereka kepada Tuhan. Melihat semangat kawan-kawan yang selalu bersemangat dalam meraih asa, Karya Pelangi menjadi wadah yang tepat untuk menampung seluruh kisah inspiratif mereka.

Love, Dream, and Disability. Tema yang diangkat oleh Karya Pelangi. Deaf Volunteering Organization (DVO) melihat Karya Pelangi kelak dapat menjadi inspirator serta motivator bagi para pembaca. Karena Karya Pelangi memiliki visi yang sama dengan DVO, sehingga DVO sangat senang dapat mendukung acara ini. Sesuai nama kami, Deaf Volunteering Organization, kami bergerak dalam dunia disabilitas, khususnya tuli. Namun kami adalah volunteer, yaitu orang-orang berpendengaran normal yang berjuang bersama dengan organisasi tuli dalam memperjuangkan hak-hak tuli di Indonesia.

Perjuangan kawan-kawan tuli di Indonesia masih terus dilakukan. Memang sepertinya tuli tidak butuh banyak bantuan layaknya kawan kita yang berkursi roda, maupun tunanetra. Para pemakai kursi roda dapat aksessibilitas yang cukup baik dengan memodifikasi tangga menjadi sedemikian rupa sehingga dapat diakses dengan menggunakan kursi roda tersebut. Namun bagaimana dengan tuli? Mereka tidak mengalami hambatan fisik maupun intelektual. Apa yang sebenarnya mereka butuhkan?

Tuli membutuhkan akses informasi. Bisa kita lihat, cara berkomunikasi mereka adalah  menggunakan bahasa isyarat. Bahasa isyarat adalah hak tuli, tapi tanpa disadari bahwa selama ini kita telah merampas hak mereka. Di sekolah-sekolah mereka dipaksa menggunakan oral dan dilarang memakai bahasa isyarat. Banyak anggapan “miring” bahwa bahasa isyarat akan membuat tuli menjadi bodoh. Sangat ironis memang, yang seharusnya dalam dunia pendidikan tuli akan mendapatkan banyak informasi, tapi tak semua informasi itu terserap karena disampaikan dengan oral.

Dunia pendidikan tak mampu memberikan informasi yang utuh kepada tuli, maka tuli mencari sumber informasi lain, menonton TV salah satu alternatifnya. Seperti yang kita tahu, TV adalah sumber informasi yang cepat dan selalu up to date. Banyak peristiwa yang baru saja terjadi di belahan dunia lain dan dapat ditayangkan di TV dalam waktu yang hampir bersamaan. Televisi sangat menarik bagi kita, karena merupakan media audio-visual. Tapi sekali lagi, tuli tidak mendapatkan haknya akan informasi. Di TV tidak ada penerjemah bahasa isyarat yang dapat menerangkan apa yang ditayangkan kepada kawan-kawan tuli. Sehingga mereka hanya bisa “menonton” TV tanpa mengetahui apa yang diberitakan.

Biasanya anak-anak tuli menonton TV bersama keluarga di rumah, saat menonton acara komedi yang mana seluruh keluarga tertawa tapi anak tuli tidak tahu apa yang lucu dari acara tersebut karena tak mendengar yang dikatakan oleh komedian. Kadang saat kita menunggu panggilan nomer antrean di kantor pemerintahan, yang mana tidak ada informasi visual yang menunjukkan nomer berapa antrean saat itu. Hal ini sangat menyulitkan teman-teman tuli. itu adalah beberapa contoh yang dialami oleh tuli, yaitu keterbatasan akses informasi.

Peran DVO adalah memberikan contoh nyata kepada masyarakat bahwa antara orang dengar dengan tuli bisa berjalan beriringan. Kami memang volunteer, tapi bagi DVO, teman-teman tuli adalah partner, teman, serta sebagai sahabat. Hubungan volunteer dengan tuli begitu dekat dan hangat, karena saat dimana tuli tidak mendapatkan hak-haknyanya, itu adalah luka bagi kami juga.  Kami melakukan banyak kegiatan bersama dengan Gerkatin Solo, antara lain workshop bahasa isyarat, sosialisasi bahasa isyarat, advokasi pemerintah, pembelajaran manajemen organisasi, serta banyak acara-acara yang dilakukan bersama.

Saat ada teman tuli yang mengikuti seminar, dari DVO menjadi interpreter atau penerjemah bahasa isyarat untuk mengisyaratkan apa yang narasumber bicarakan. Karena apabila tidak ada penerjemah dalam acara tersebut, tuli tidak mendapatkan informasi yang utuh dari acara tersebut. Selama tiga tahun ini, DVO bersama Gerkatin Solo terus-menerus mengikuti berbagai acara di luar komunitas tuli. Hal ini bertujuan agar masyarakat mengerti bahwa penerjemah sangat dibutuhkan apabila ada teman-teman tuli yang menghadiri acara tersebut. Kami bersyukur saat ini sudah banyak komunitas di Solo yang semakin paham dengan hak-hak tuli, yaitu penggunaan bahasa isyarat, penerjemah, serta hal-hal yang sifatnya visual. DVO dan Gerkatin Solo berharap, seluruh masyarakat Indonesia bisa memahami hak-hak tuli sebagaimana yang masyarakat Solo tunjukkan kepada tuli. Masyarakat yang menghormati budaya tuli merupakan masyarakat yang inklusif.

Dengan adanya Karya Pelangi ini, harapan kami masyarakat akan lebih menyadari peran serta difabel di masyarakat, karena mereka juga adalah anggota masyarakat. Sudah bukan saatnya kelompok disabilitas ini menjadi kelompok yang termarginalkan. Cerita-cerita dalam Karya Pelangi ini akan menjadi kumpulan cerita inspiratif yang akan menginspirasi orang tua yang memiliki anak dsabilitas, pendidik, masyarakat umum, serta kawan-kawan disabilitas itu sendiri. Mungkin kawan-kawan disabilitas ada yang semangatnya sedang jatuh, harapan kami setelah membaca Karya Pelangi ini dapat membuat mereka menjadi ribuan kali lebih semangat dari hari kemarin.

Kami yakin Karya Pelangi ini akan menjadi sebuah “pelangi” yang sangat indah dan akan muncul banyak “pelangi-pelangi” lain di seluruh pelosok negeri. Mungkin di ujung negeri  banyak sosok pelangi tak berani muncul karena belum ada “hujan” yang turun, harapannya Karya Pelangi ini dapat menjadi “hujan” bagi mereka, sehingga sinar pelangi mereka dapat menerangi sosok-sosok “calon pelangi” yang lain. Bagi para pejuang volunteer dan siapa saja yang ingin menyumbangkan cerita “pelangi”-nya, mari tuliskan ceritamu ke sini. Bagikan kisah inspiratif anda, satu cerita dapat memunculkan satu pelangi. Mari berbagi di sini dan buat semua orang tahu bahwa disabilitas dapat menembus batas.

Deaf Volunteering Organization (DVO) selalu berjuang bersama tuli untuk memunculkan pelangi-pelangi yang masih tersembunyi. Mari bersama-sama mencari sang pelangi! Salam inklusif.

Saturday, March 16, 2013

Menggapai Asa di Kota Apel



          Tahun ajaran baru, selalu menjadi tahun yang paling menyibukkan dan memusingkan bagi para calon mahasiswa. Pilih jurusan ini, universitas itu, kota yang jauh, dan berbagai pertimbangan lain. Bagi yang sudah mendapat restu dari orang tua pasti akan lebih mudah melangkah kemana akan meniti masa depannya. Kita pasti ingin mendapatkan pendidikan di universitas terbaik dengan tenaga pengajar yang terbaik pula.

          Beginilah yang dirasakan oleh sahabatku asal Jogja, Fikri. Dia adalah seorang deaf yang memiliki semangat tinggi untuk kuliah, terutama bidang seni rupa dan desain. Fikri tidak berbeda dengan calon mahasiswa lainnya, ingin mendapatkan pendidikan yang terbaik. Namun “terbaik” bagi Fikri dan bagi kita mungkin tidak sama. Fikri bisa saja berkuliah di universitas terbaik di negeri ini dan mengambil jurusan populer, tapi itu bukan yang “terbaik” dari sisinya.

          Beberapa bulan sebelum pembukaan pendaftaran tes masuk perguruan tinggi negeri, Fikri memberitahuku bahwa ada beasiswa khusus difabel dari Universitas Brawijaya (UB) Malang. Peluang yang sangat bagus, pikirku. Sebelum ini, dia sudah bertemu dengan dosen salah satu perguruan tinggi negeri di Jogja untuk berkonsultasi mengenai sistem perkuliahan dan proses pembelajarannya saat di kelas. Ternyata di universitas tersebut belum ada penerjemah bahasa isyarat untuk mendampingi Fikri di kelas. Pasti dia akan kesulitan dalam mengikuti perkuliahan manakala harus membaca gerak bibir dosen sepanjang perkuliahan. Inilah yang dinamakan bukan yang “terbaik” bagi seorang Fikri, biarpun universitas negeri dan fasilitas memadai.

          Baiklah, mungkin univeritas negeri Jogja tersebut menjadi pilihan terakhir jika di UB tidak lolos. Dua minggu menjelang keberangkatan aku mengunjungi rumahnya di Jogja, untuk tanya persiapan dan berbincang dengan orang tuanya. Karena Fikri minta aku yang menemaninya ke Malang, jadi aku meyakinkan ke orang tuanya bahwa Fikri akan baik-baik saja selama di sana. Orang tua Fikri sangat baik dan memberi kebebasan Fikri untuk mengikuti kegiatan di luar rumah. Hal inilah yang membuat Fikri memiliki rasa percaya diri lebih besar dibanding teman-teman deaf yang lainnya.

           Menyusun rencana keberangkatan dan kepulangan sudah selesai diperhitungkan. Hari Sabtu jam 09.00 adalah interview jurusan yang akan diambil di UB. Maka Fikri datang ke Solo pada hari Jumat sore untuk istirahat sejenak dan malam harinya kami berangkat. Kami sudah memesan tiket travel untuk memudahkan perjalanan karena kami belum pernah mengunjungi Kota Apel itu. Dan agen travel menjanjikan pukul 21.00 sampai di kosku untuk menjemput kami. Jam sudah menunjukkan pukul 21.45, belum ada tanda-tanda travel datang dan aku menelpon agen travelnya berkali-kali tapi nomer tidak aktif. Panik! Emosi!

          “Kita naik motor aja”, kata Fikri dengan menggunakan bahasa isyarat.

          Melewati hutan Ngawi dengan jalan berliku tanpa lampu penerangan serta ketakutanku lebih kepada bis Sumber Kencono yang mungkin saja sopirnya nyetir sambil tidur. “Tidak! Bahaya! Kita tunggu 5 menit lagi aja, pasti travel datang,” jawabku memakai bahasa isyarat.

          Baiklah, lima menit sudah berlalu. Fikri semakin bingung dan wajahnya terlihat seperti ingin gantung diri. “Ayo naik motor aja!” ajakku. “Oke kita berangkat ke Malang naik motor, tadi bilang gak mau naik motor. Woooo,” Fikri berkata dalam bahasa isyarat dengan bersemangat.

          “Kita naik motor, tapi ke terminal” aku berlalu sambil ambil motor. “Kalau besok kita terlambat piye?” Fikri masih khawatir.

          “Diam dan cepat naik!”, kataku dan langsung menuju terminal Tirtonadi (terminal di Solo).

          Sampai di Terminal Tirtonadi dalam 15 menit. Bingung! Bis tujuan Malang sudah tak ada! Tuhan…beri kami jalan. Seperti biasa, kalau di terminal aku merasa bak seorang artis kampung papan atas, banyak yang kepo menanyakan aku akan pergi kemana. Aduhai beginilah rasanya jadi artis, mau pergi saja banyak yang ingin tahu.

          Ada bis berwarna biru tujuan Surabaya, mungkin ini pilihan terakhir kami untuk menuju Malang. Waktu masih terus mengejar.
          “Pak, masih ada yang kosong gak?” tanyaku.
          “Penuh mas. Tapi kalau mau ada kursi cadangan untuk dua orang,” jawab sopir. Tak ada bayangan apapun apa yang dimaksud si sopir tentang “kursi cadangan”.
          “Kita bisa berangkat, tapi cuma ada kursi cadangan, gimana?” tanyaku pada Fikri. “Kursi cadangan? Apa itu?” tanyanya bingung.
          “Hmm mungkin kita nanti di Malang akan bermain sepak bola sebagai pemain cadangan,” jawabku.
          “Haha.. Bodoh,” kepalan tangan Fikri mendarat mulus di kepalaku.

          Kita masuk bis tujuan Surabaya itu, dan akhirnya kami mengetahui apa yang dimaksud dengan “kursi cadangan”. Semacam menikmati hidangan bakso di emperan jalan dan kita duduk di warung itu. KURSI PLASTIK!! Duduk di pojok paling belakang tepat di samping toilet, kaki menahan getaran bis supaya tak jatuh dari singgasana kehormatan “kursi cadangan” ini, sangat nikmat!

          Selama enam jam perjalanan menuju Kota Pahlawan diiringi oleh kelelahan dan segala kata-kata “sanjungan” manis untuk sang travel abal-abal. Tepat pukul 5.30 sampailah di Surabaya. Cukup singkat menginjakkan kaki di kota ini karena harus segera menuju Malang. Jam 06.00 bis menuju Malang berangkat.

          Pukul 08.00 kami tiba di Terminal Arjosari Malang. Sudah dekat dengan kampus UB. Segera bertanya orang kemana arah UB dan naik apa. For your information, di Malang sangat banyak angkot. Di dalam kota semua transportasi umumnya adalah angkot.




Universitas Brawijaya (UB) Malang

          Akhirnya kami tiba di tujuan, di tempat impian Fikri. Tepat pukul 8.00 dan kami harus mencari tempat membersihkan diri. Masjid, satu-satunya pilihan bagi kami. Dengan memasang muka keren, tepis rasa malu, dan aku izin ke penjaga masjidnya. Cuek saja ada mahasiswa lalu lalang melihat kami yang menenteng handuk di area kampus. Oh Tuhan, airnya sangat dingin. Mungkin mandi pagi cukup, gak mandi lagi!

          Persiapan selesai dan kami berjalan menuju Rektorat, yang merupakan tempat diadakannya wawancara untuk menjaring calon mahasiswa disabilitas. Kampus UB rindang, trotoar lebar dan nyaman, sehingga banyak mahasiswa yang berjalan kaki di sini. Selain itu trotoar ini menjadi aksessibel bagi yang memiliki keterbatasan fisik jika menggunakan kursi roda. Cuaca Malang yang cukup dingin tak membuat kami berkeringat berjalan menuju Rektorat yang jaraknya cukup jauh.

          Masuk ke dalam salah satu ruang di Rektorat yang ternyata sudah banyak yang datang dan melakukan interview. Banyak orang tua yang mengantarkan anaknya, ada juga yang diantar oleh teman atau saudaranya. Sepanjang perjalanan dan sampai di ruang ini aku dan Fikri memang ngobrol pakai bahasa isyarat, banyak yang mengira aku tuli. Jadi lucu melihat ekspresi orang yang kebingungan berbicara denganku karena kesulitan mencari-cari formasi tangan hehe.

          Ruangan dipenuhi oleh calon mahasiswa disabilitas yang sedang diwawancarai mengenai jurusan apa yang diinginkannya. Aku melihat percakapan antara calon mahasiswa tuli dengan dosen yang dibantu oleh penerjemah bahasa isyarat, si calon mahasiswa itu ingin masuk jurusan Kedokteran. Berkali-kali dosen itu bilang bahwa untuk kuliah di jurusan Kedokteran tidak boleh mengalami gangguan pendengaran. Aku salut dengan kegigihan sang calon mahasiswa itu yang tetap bersiteguh ingin masuk Kedokteran.

          “Misal kamu tidak masuk di jurusan Kedokteran, kamu pilih jurusan apa?” tanya dosen. “Aku tidak mau jurusan lain!” jawabnya mantap. Semangatnya sangat tinggi untuk masuk jurusan ini. “Kenapa kamu ingin sekali masuk jurusan Kedokteran?”, dosen bertanya lagi. “Karena aku ingin menyembuhkan orang yang sakit,” kata si calon mahasiswa dengan menggunakan bahasa isyarat. Aku melihat wawancara itu dari kejauhan sungguh tercegang dengan motivasinya.

          Kembali melihat Fikri yang sedang wawancara. Seperti dugaanku sebelumnya tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan dia. Fikri sejak awal memang menginginkan masuk jurusan Seni Rupa. Dengan kemampuannya selama di SMK Seni Rupa Jogja, tidaklah sulit jika sewaktu-waktu panitia ingin melihat kemampuan Fikri. Berbagai pertanyaan lancar dijawab Fikri, seperti seni rupa menurutmu apa, sebutkan contoh-contoh karya yang termasuk seni rupa, dan berbagai macam tentang seni rupa. Dia menjawab dengan tepat, karena sebelumnya dia sudah membaca mengenai seni rupa.

          Fikri bilang sedikit kesulitan dalam menjelaskan ke dosen, karena penerjemahnya baru belajar bahasa isyarat dua bulan. Fikri sempat sedikit marah karena mengulang-ulang mengeja kata “d-i-s-k-r-i-m-i-n-a-s-i” saat dia menjelaskan mengenai keadaan para disabilitas. “Sudah jangan marah, besok kalau kamu diterima di sini kamu ajari volunteer UB bahasa isyarat supaya mereka lancar bahasa isyarat,” hiburku.

          Kelalahan perjalanan semalam mulai melanda kami. Tenaga dan mata sudah tak kuat menahan kantuk. Kami mencari masjid di luar UB untuk shalat Dzuhur dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Solo. Lantai dingin masjid berhasil membawa kami ke alam mimpi dengan cepat.

          Dalam menggapai mimpi tak semudah menidurkan kepala di bantal, banyak tantangan dalam perjalanan meraih mimpi itu. Menggapai pendidikan setinggi-tingginya tak hanya milik orang “normal”, teman-teman tuli pun bisa meraihnya. Berani bermimpi dan gapai mimpi itu!!